Tuesday 17 April 2012

faktor risiko mioma uteri


Mioma merupakan tumor yang paling umum pada traktus genitalis. Mioma uteri dikenal juga dengan sebutan fibromioma, fibroid, atau leiomioma merupakan neoplasma jinak. Mioma terdiri atas serabut-serabut otot polos yang dikelingi dengan untaian jaringan ikat, dan dikelilingi oleh kapsul yang tipis (Llewellyn, Jones,2001).
Mioma uteri merupakan tumor jinak miometrium dengan ciri tersendiri, bulat, keras, berwarna putih hingga merah muda pucat, sebagian besar terdiri dari otot polos dengan beberapa jaringan ikat (Benson, 2009).
Ada beberapa faktor resiko yang menyebabkan terjadinya mioma uteri (Parker, 2007) :
1)    Umur
Kebanyakan perempuan didiagnosa mioma uteri sebelum umur empatpuluh-an. Wanita Amerika-Afrika menunjukan gejala mioma ketika masih muda (Parker, 2007). Berdasarkan otopsi, Novak menemukan 27% wanita berumur 25 tahun mempunyai sarang mioma, pada wanita yang berkulit hitam ditemukan lebih banyak. Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarche. Setelah menopause hanya kira-kira 10 % mioma yang masih tumbuh (Joedosepoetro, 2007).
2)    Usia menarche
Statistik menunjukan bahwa usia menarche dipengaruhi oleh faktor keturunan, keadaan gizi, kesehatan umum yang membaik dan berkurangnya penyakit menahun (Winkjosastro, 2007). Beberapa penelitian mengemukakan bahwa peningkatan pertumbuhan mioma uteri merupakan respon dari stimulus estrogen (Victory, 2006). Marshall dan Faerstein mengemukakan insidensi mioma uteri meningkat signifikan pada wanita yang mengalami menarche sebelum umur 11 tahun. Paparan estrogen yang semakin lama akan meningkatkan insidensi mioma uteri. Menarche dini (<10 tahun) ditemukan meningkatkan resiko relatif mioma uteri, dan menarche lambat (>16 tahun) menurunkan resiko relatif mioma uteri (Parker, 2007).   
3)    Riwayat keluarga
Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama dengan penderita mioma uteri mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk menderita mioma dibandingkan dengan wanita tanpa garis keturunan penderita mioma uteri. Penderita mioma dalam 2 garis keturunan pertama mempunyai 2 kali lipat kekuatan ekspresi dari VEGF-α (α myoma-related growth factor) dibandingkan penderita mioma yang tidak mempunyai riwayat keluarga penderita mioma uteri (Parker,2007).
4)    Paritas
Mioma lebih sering terjadi pada wanita nullipara atau wanita yang hanya mempunyai 1 anak (Llewellyn,2001). Parker mengemukakan bahwa semakin meningkatnya jumlah kehamilan maka akan menurunkan insidensi mioma uteri. Resiko terjadinya mioma uteri akan menurun dari 20%-50% dengan melahirkan minimal 1 orang anak. Dalam penelitiannya, Chen menemukan bahwa resiko menurun hingga 70% pada wanita yang melahirkan 2 anak atau lebih (Victory,2006).
5)    Ras
Suatu penelitian menemukan bahwa wanita Afrika-Amerika mempunyai resiko 2,9 kali lebih besar daripada wanita Kaukasia, dan resiko ini tidak berhubungan dengan faktor resiko lain (Parker, 2007).
6)    Berat Badan
Obesitas juga merupakan faktor yang berperan meningkatkan resiko kejadian mioma uteri. Hal ini berhubungan dengan konversi hormon androgen menjadi estrogen oleh enzim aromatase di jaringan lemak (Djuwantoro, 2004). Hasilnya terjadi peningkatan jumlah estrogen tubuh, dimana hal ini dapat menerangkan hubungan dengan peningkatan insidensi dan pertumbuhan mioma uteri. Sebuah penelitian menemukan bahwa resiko mioma meningkat 21% setiap penambahan 10 kg berat badan dan  penambahan indek masa tubuh. Penemuan serupa juga melaporkan resiko mioma meningkat pada wanita yang memiliki lemak lebih dari 30% (Parker,2007).
7)    Makanan
Beberapa penelitian dapat menerangkan hubungan antara makanan dengan prevalensi atau pertumbuhan mioma uteri. Suatu penelitian menemukan bahwa daging sapi, daging setengah matang, dan daging babi meningkatkan kejadian mioma uteri, namun sayuran hijau menurunkan insiden mioma uteri. Tetapi penelitian ini sulit diinterpretasikan karena penelitian ini tidak mengukur kalori dan lemak. Tidak diketahui dengan pasti pengaruh vitamin, serat, atau phytoestrogen berhubungan dengan mioma uteri (Parker, 2007).
8)    Latihan
Mantan atlet perguruan tinggi tercatat memiliki prevalensi 40% lebih rendah dibandingkan dengan yang bukan atlet. Tidak jelas apakah perbedaan ini merupakan efek dari latihan atau tingkat konversi yang lebih rendah dari androgen dengan estrogen yang disebabkan oleh masa tubuh yang kecil (Parker,2007).
9)    Merokok
Merokok dapat mengurangi insiden mioma uteri. Beberapa faktor dapat menurunkan bioavailabilitas estrogen dan menurunkan konversi androgen menjadi estrogen dengan penghambatan enzim aromatase oleh nikotin (Parker, 2007).
10) Kehamilan
Meningkatnya vaskularisasi uterus ditambah dengan meningkatnya kadar estrogen sirkulasi sering menyebabkan pembesaran dan pelunakan mioma. Jika pertumbuhan mioma terlalu cepat, akan melebihi suplai darahnya, sehingga terjadi perubahan degeneratif tumor ini. Hasil yang paling serius adalah nekrobiosis (degenerasi merah). Pasien dapat mengeluh nyeri dan demam derajat rendah, biasanya pada kehamilan sepuluh minggu kedua. Palpasi menunjukan bahwa mioma sangat lunak (Llewellyn, 2001). Berdasarkan hasil penelitian Lev-Toaff et-al (1987) didapatkan akibat mioma uteri pada kehamilan adalah pertumbuhan mioma tidak dapat diprediksi. Implantasi plasenta yang terjadi pada mioma akan meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus, persalinan prematur dan perdarahan postpartum . Mioma yang multipel akan disertai dengan peningkatan insiden malposisi janin dan persalinan prematur, degenerasi mioma biasanya disertai dengan pola sonografik yang khas, frekuensi dilakukan tindakan seksio sesaria semakin menigkat (Cunnigham, 2005).

Tuesday 21 February 2012

Kanker Servik


a.   Pengertian
Kanker adalah istilah umum untuk pertumbuhan sel tidak normal, yaitu tumbuh sangat cepat, tidak terkontrol, dan tidak berirama yang dapat menyusup ke jaringan tubuh normal dan menekan jaringan tubuh normal sehingga mempengaruhi fungsi tubuh. Kanker serviks adalah kanker yang terjadi pada serviks uterus, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, dan terletak antara rahim (uterus) dengan liang sanggama (vagina) (Diananda, 2007).
b.   Penyebab
Penyakit kanker serviks berawal dari infeksi virus yang merangsang perubahan perilaku sel serviks. Sudah dipastikan bahwa penyebab primer kanker serviks adalah HPV (human papilloma virus) (Aziz, 2006). Semua perempuan mempunyai risiko untuk terkena infeksi HPV. Sementara itu, seseorang yang terkena infeksi ini memiliki kemungkinan terkena kanker serviks hampir 20.100 kali lipat (Emilia, 2008).
c.    Faktor risiko
1)     Hubungan seksual dini (kawin usia muda)
                   Wanita yang memulai hubungan seksual pada usia muda  akan meningkatkan risiko terkena kanker serviks. Bahkan wanita yang berhubungan seksual sebelum usia 18 tahun akan berisiko terkena kanker serviks lima kali lipat (Rasjidi, 2009). Makin muda seseorang melakukan hubungan seks, makin tinggi risikonya untuk terkena kanker serviks (BKKBN, 2001).
2)     Pasangan seksual yang banyak
                   Wanita dengan pasangan seksual yang banyak akan meningkatkan risiko terkena kanker serviks (Rasjidi, 2009). Wanita pekerja seks ditemukan 4 kali lebih sering terserang kanker serviks (Bustan, 2007). Hal ini berkaitan dengan virus penyebab utama kanker serviks yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Infeksi terjadi melalui kontak langsung (Aziz, 2006).
3)     Pasangan seksual/suami tidak disunat
                   Sirkumsisi/sunat pernah dipertimbangkan menjadi faktor pelindung, tetapi sekarang hanya dihubungkan dengan penurunan faktor risiko (Rasjidi, 2009). Kanker serviks jarang dijumpai pada masyarakat yang suaminya disunat (sirkumsisi) (Wiknjosastro, 2007).
4)     Karakteristik pasangan
                   Pasangan dari pria dengan kanker penis atau pasangan dari pria yang istrinya meninggal terkena kanker serviks juga akan meningkatkan risiko kanker serviks. Selain itu, studi kasus kontrol menunjukkan bahwa pasien dengan kanker serviks lebih sering menjalani seks aktif dengan pasangan yang melakukan seks berulang kali (Rasjidi, 2009).
5)     Melahirkan di usia muda
                     Semakin muda wanita memiliki anak, semakin rentan terkena kanker serviks karena serviks belum matang secara penuh dan mungkin mengalami kerusakan sel dalam proses persalinan (Evennett, 2004).
6)     Wanita yang memiliki banyak anak, apalagi jika jarak persalinan terlalu dekat
                     Kejadian kanker serviks meningkat dengan banyaknya anak, apalagi jika jarak persalinan terlampau dekat (Wiknjosastro, 2007). Kanker serviks lebih banyak ditemukan pada ibu dengan banyak anak (Bustan, 2007). Banyak anak berpeluang menimbulkan trauma pada jalan lahir. Trauma pada serviks seperti persalinan, infeksi, dan iritasi menahun juga merupakan faktor risiko kanker serviks karena perlukaan yang timbul akan menjadi tempat berkembangnya virus (Diananda, 2007).
7)     Dietilstilbesterol (DES)
                     DES adalah obat hormon yang digunakan antara tahun 1940 dan 1971 untuk beberapa wanita yang berada dalam bahaya keguguran. Anak-anak perempuan wanita yang mengkonsumsi obat ini ketika mereka hamil memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker vagina dan serviks (Nurwijaya, 2010). Menurut Azis (2006), sekarang kasus yang berhubungan dengan DES ini hampir tidak ada.

8)     Infeksi mikroba
                        Mikroba yang dapat mengganggu di daerah serviks adalah Chlamidia trachomatis, Neisseria Gonorrhoeae, Herpes Simpleks Virus (HSV), dan Trichomonas vaginalis (Aziz, 2006).
9)     Merokok
                        Ada dugaan bahwa rokok adalah faktor risiko terjadinya kanker serviks (Benson, 2009). Bahan karsinogenik spesifik dari tembakau dapat dijumpai dalam lendir dari mulut rahim wanita perokok. Bahan karsinogenik ini dapat merusak  sel serviks dan bersama infeksi virus dapat mencetuskan keganasan (Rasjidi, 2009). Meningkatnya risiko juga terjadi pada perokok pasif (Aziz, 2006).
10)   Wanita yang menggunakan penekan kekebalan (imunosupresi)
                        Karena hubungannya yang erat dengan infeksi HPV, wanita yang mendapat atau menggunakan penekan kekebalan (immunosupresive) berisiko menderita kanker serviks (Aziz, 2006).
11)   Kontrasepsi oral/pil KB
                        Pil kontrasepsi oral diduga akan menyebabkan kekurangan asam folat (Aziz, 2006). Pil juga dapat menurunkan kekebalan alami terhadap infeksi (Evennett, 2004).
12)   Pola makan kurang buah dan sayuran
                        Beberapa penelitian memberikan kesan kekurangan asam folat dan vitamin A meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks. Sayuran dan buah-buahan jelas-jelas mengandung vitamin seperti vitamin C, E, dan betakaroten yang berfungsi sebagai antioksidan (Diananda, 2007). Konsumsi vitamin A, C, dan E dipercaya  akan memproteksi daerah serviks. Cislycopene yang banyak terdapat dalam sayuran akan mengurangi HPV DNA risiko tinggi yang persisten sebanyak 50% (Aziz, 2006).
13)   Wanita di kelas sosial ekonomi rendah
                        Wanita di kelas sosioekonomi yang paling rendah memiliki faktor risiko lima kali lebih besar daripada wanita di kelas yang paling tinggi (Rasjidi, 2009). Angka kejadian kanker serviks di negara berkembang pada umumnya masih tinggi karena kendala sosial masyarakat dan ekonomi. Kendala sosial masyarakat berkaitan dengan konsep “tabu”. Seperti kita ketahui kanker serviks merupakan kanker yang menyerang bagian sensitif dan tertutup perempuan. Bukan hal yang mudah untuk mendorong perempuan membuka diri dan mengizinkan pemeriksaan dilakukan. Apalagi kalau itu dilakukan oleh dokter atau paramedis laki-laki. Bagi masyarakat dengan pengetahuan yang cukup, maka tidak akan menjadi masalah. Tetapi bagi masyarakat pedesaan bahkan pedalaman yang tingkat pengetahuannya masih kurang, hal tersebut bisa menjadi sebuah masalah. Selain itu, aspek kepercayaan masyarakat terhadap dokter/paramedis masih belum merata. Kendala ekonomi atau pembiayaan berkaitan dengan pemeriksaan dini kanker serviks atau skrining yang  memerlukan biaya tidak murah. Di negara berkembang alokasi dana untuk itu masih terbatas sehingga menghambat pelayanan gratis skrining bagi masyarakat. Akibatnya, kanker serviks biasanya diketahui setelah memasuki stadium lanjut (Emilia, 2008).
                        Selain itu, mereka dari golongan sosial ekonomi rendah memiliki higiene seksual yang jelek (Wiknjosastro, 2007). Golongan sosial ekonomi rendah juga mengalami kekurangan protein/vitamin sehingga memudahkan infeksi (Manuaba, 2001).
14)   Paparan bahan tertentu dalam pekerjaan
                        Sekarang ini, ketertarikan difokuskan pada pria yang pasangannya menderita kanker serviks. Diperkirakan bahwa paparan bahan tertentu dari suatu pekerjaan (debu, logam, bahan kimia, tar, atau oli mesin) dapat menjadi faktor risiko kanker serviks (Rasjidi, 2009).
15)   Stress
                        Stress menghambat kemampuan untuk menghadapi penyakit, dan selalu disebut berhubungan dengan kanker. Ini terjadi karena ketika dalam keadaan stress, ketahanan tubuh menurun dan sel-sel lebih rentan terhadap penyakit (Evennett, 2004).
d.    Tanda gejala
1)    Keluar cairan agak banyak dari alat kelamin dan kadang disertai bercak darah : merupakan tanda dini kanker serviks dan umumnya tanda yang sangat minimal ini sering diabaikan oleh penderita.
2)    Keputihan yang semakin lama semakin berbau busuk : merupakan gejala yang paling sering ditemukan.
3)    Keluar darah setelah melakukan hubungan seksual : makin bertumbuhnya penyakit, perdarahan menjadi semakin banyak, lebih sering, dan berlangsung lebih lama.
4)    Perdarahan spontan : pada tingkat klinik yang lebih lanjut (stadium II atau III).
5)    Anemia : sebagai akibat perdarahan yang berulang.
6)    Nyeri yang menjalar ke pinggul atau kaki : pada stadium lanjut ketika tumor telah menyebar keluar dari serviks dan melibatkan jaringan di rongga panggul.
7)    Nyeri saat kencing, perdarahan saat buang air besar, sampai sulit kencing dan buang air besar : menandakan keterlibatan saluran kencing dan syaraf di sekitarnya.
8)    Bengkak pada tungkai bawah dan tidak bisa kencing
9)    Kehilangan berat badan

e.    Penyebaran
1)    Merambat ke bawah : menjalar ke liang senggama (vagina) sampai ke alat kelamin bagian luar
2)    Merambat ke atas : menembus dinding rahim, menyebar di dalam rahim
3)    Menekan saluran kencing dan anus
4)    Mengikuti aliran limfe dan aliran darah, menyebar dalam pembuluh limfe dan pembuluh darah
5)    Pada stadium lanjut dapat menyebar ke paru, hati, ginjal, tulang, otak, kulit, dan bagian lain.

Untuk Deteksi Dini akan dibahas lain kali ya ...